KEMEROSOTAN DAYA TARIK SEKOLAH Oleh : Marjohan (Timorleste) tugas di SMA N 3 Batusangkar Guru Drs. Alfahri M. Pd (Indonesia) SMA Negeri 1 lintau Buo Sampai sekarang, agaknya pendidikan masih dianggap sebagai investasi nasional. Investasi terhadap manusia dengan kata lain dapat dikatakan dengan istilah “investasi dalam kemampuan manusia” atau dalam istilah yang lebih umum adalah “sumber daya manusia”. Suatu negeri tetap miskin karena investasi dalam kemampuan manusianya juga kecil. Untuk mengentaskan keadaan ini sangat diperlukan peningkatan dan pengembangan potensial dan tepatnya adalah peningkatan keterampilan dan pengetahuan dari segenap warganya. Keadaan dan eksistensi negara ini pada masa datang sangat ditentukan oleh investasi sumber daya manusia sekarang ini dapat kita sorot ke dalam dunia pendidikan. Ada kecenderungan pemerosotan daya tarik sekolah dalam kalangan pelajar. Semoga saja pandangan ini tidak terlalu mengada-ada. Banyak fakta-fakta umum yang dapat menyokong pendapat ini seperti makin banyaknya anak-anak sekolah yang berkeliaran dimana-mana pada jam belajar efektif, pelaksanaan disiplin yang macet, rendahnya perhatian masyarakat untuk menyerbu fasilitas pendidikan dibandingkan dengan fasilitas hiburan dan masih senangnya hampir sebagian besar orang yang bersikap bermalas-malasan. Kemerosotan daya tarik sekolah penyebabnya dapat ditinjau dari beberapa segi, seperti dari segi sekolah, rumah, masyarakat dan lain-lain. Walau bagaimana setiap segi ini saling mempengaruhi dan memberikan dampak negatif. Meskipun telah banyak orang membahas tentang berbagai kritikan termasuk kritikan tentang metode mengajar namun belum tampak reaksi positif secara menyeluruh. Sampai saat sekarang metode mengajar lama masih cukup banyak digandrungi oleh guru-guru meskipun mereka telah puluhan kali mengikuti penataran-penataran dan hampir tiap saat disuguhi teori-teori. Bagaimana keadaan metode mengajar gaya lama? Yaitu metode yang membuat murid cenderung menghafal teks demi teks catatan yang diberikan oleh guru, apakah mereka memahami atau tidak. Pelaksanaan metode lama ini telah berlangsung cukup lama. Mengajar dengan metode yang demikian cenderung bersifat dogmatik dan otoriter. Cara dari metode ini sedikit mendorong murid untuk bertanya dan bersikap kritis atau tertarik dalam belajar mandiri di luar sekolah. Inilah penyebabnya kenapa sekarang murid-murid, malah juga sampai kepada mahasiswa cenderung membisu dan suka sebagai penonton dalam dinamika kehidupan. Dan ini pulalah penyebabnya kenapa banyak generasi muda suka kebingungan dalam mengisi hari-hari kosong mereka. Suasana mengajar pada berbagai tingkat sekolah, dari tingkat SD sampai SLTA dan barangkali juga di tingkat perguruan tinggi dengan gaya “konsep bank” atau gaya hubungan “cerek dan cangkir”. Gaya mengajar ini cenderung untuk melemahkan kebebasan berpikir dan menumbuhkan sikap mencari serta berpengalaman, yang diperlukan dalam perkembangan. Suasana belajar murid cenderung menunggu perintah dari guru. Buku-buku pegangan baru dibaca kalau ada perintah. Karena sering guru lupa memberi aba-aba untuk membaca, maka rata-rata buku pegangan masih utuh. Malahan buku yang sengaja dipersiapkan oleh pemerintah cenderung untuk menumpuk-numpuk di pustaka atau di rumah karena budaya malas membaca. Dalam menguasai pelajaran, caya yang cukup jitu dipakai adalah lewat cara menghafal. Dan ini tampak cukup merata untuk berbagai tingkat sekolah, sehingga suasana belajar yang demikian hanya membuat murid untuk mencapai target lulus saja dan memperoleh ijazah, bukan untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan yang harus dibuktikan. Melihat gejala semakin kurang berkualitasnya lulusan sekarang, sehingga ada orang yang suka berkelakar mengatakan bahwa “ijazah itu hanya laku sampai di gerbang sekolah saja” dengan arti kata belum dapat diandalkan dalam kehidupan. Situasi sekolah sekarang yang cukup mengecewakan telah membuat para lulusan tidak atau kurang berkualitas. Situasi sekolah yang mengecewakan ini adalah akibat, sekali lagi, bertahannya gaya mengajar metode lama. Proses belajar mengajar yang bersifat “text book” dan malah akibat murid belajar dengan sedikit buku atau tanpa buku pegangan sama sekali. Buktikanlah dalam kehidupan setiap hari kita melihat cukup banyak pelajar pergi sekolah melenggang saja atau Cuma membawa sehelai catatan “gado-gado” dan melipatnya ke dalam kantong. Kemudian guru dan murid cenderung bermalas-malas, mungkin akibat pemahaman kurikulum atau kurikulum itu sendiri cukup kabur dan guru kurang terlatih untuk menstimulasi aktivitas murid. Kenapa sekarang jarang guru yang bersikap profesional ideal? Ini bisa jadi disebabkan karena mereka miskin dengan ilmu, wawasan dan pengetahuan, sehingga ada saja murid yang berani mengatakan bahwa sebagian kecil guru ilmunya cuma “tua semalam” dari murid-murid. Beberapa kritikan terhadap pendidikan yang menyebabkan semakin merosotnya daya tarik sekolah adalah sebagai berikut: Pengajaran yang serba bersifat Text-Book dan teori tanpa praktek. Populasi kelas yang cukup atau terlalu ramai dengan pengajaran cenderung melupakan program pengayaan atau perbaikan, kalaupun ada itu cuma agak berbau omong kosong saja. Murid-murid terlihat miskin dengan berbagai aktivitas pendidikan. Kurangnya penyediaan kebutuhan dan kapasitas untuk remaja. Proses belajar mengajar terlalu banyak didominasi oleh berbagai ujian, ada kalanya guru mengadakan ujian palsu karena kehabisan teknik mengajar. Dan tidak ada kegiatan ekstra kurikuler yang bermanfaat dan dapat memperkaya wawasan siswa untuk menghadapi dunia kerja dan kehidupan nyata kelak. Kemerosotan daya tarik sekolah dapat pula disebabkan oleh gaya belajar murid-murid itu sendiri. Memang kita akui bawa gaya belajar ini dibentuk oleh faktor sekolah, rumah dan faktor sosial. Gaya murid, dan bisa jadi juga mahasiswa, dalam menguasai pengetahuan adalah dengan cara melengkapi catatannya persis seperti kata-kata guru dan dalam ujian mereka berusaha keras untuk mencurahkan, mengungkapkannya lagi, dari hafalan. Ini merupakan penghalang serius dalam mengembangkan kreativitas berpikir. Disini tampak bahwa murid lebih tergantung pada ingatan atau hafalan dari pada memahami masalah dan mengembangkan alasan (logika) serta kekuatan analisa untuk menyelesaikan masalah dalam hidup. Sudah menjadi pemandangan umum bagi kita untuk setiap musim ujian. Murid biasanya menyediakan beberapa hari saja dalam seminggu sebelum ujian untuk bekerja dan belajar intensif. Dalam menyerap ilmu mereka sering tergantung pada catatan dari pada buku-buku pegangan. Dan selanjutnya mereka tergantung pada hafalan daripada pemahaman. Untuk mencapai kematangan pribadi murid, agaknya sangat diperlukan campur tangan atau bimbingan guru, terutama orang tua, untuk mengelola dan memanfaatkan waktu. Apa yang sering kita lihat dalam melewati hari-hati yang panjang sebelum ujian tiba, tentu tidak untuk semua murid, adalah mereka cenderung untuk membuang waktu tanpa tujuan. Sehingga kalau ada murid atau mahasiswa kita yang beruntung untuk belajar di negara Barat, dan negara maju lain, akan tercengang melihat sungguh serius dan rajin para pelajar di sana. Agaknya kemerosotan daya tarik sekolah cukup menentukan kualitas sumber daya manusia, atau lulusan suatu sekolah. Kita lihat bahwa lulusan SLTA tentu saja tidak semuanya yang terus ke universitas rata-rata kurang stabil secara emosi, kurang terbimbing secara intelektual dan lemah dalam pemanfaatan waktu. Sehingga membuat sebagian besar mahasiswa banyak buang-buang waktu dan sedikit yang punya kesempatan untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Mereka tidak tahu kemana akan pergi dan tidak tahu apa yang akan dilakukan. Kalau begitu kita tidak perlu heran kalau banyak yang mengaku telah sarjana tetapi belum bisa membuktikan diri dalam kehidupan karena bisa jadi akibat “ijazah mereka hanya laku sampai ke gerbang kampus” saja. Kemerosotan daya tarik sekolah dan untuk menambahkan ilmu untuk tingkat SLTA sudah mulai terasa ketika murid duduk di bangku kelas tiga. Rata-rata murid kelas tiga banyak belajar acuh tidak acuh dan sering belajar serampangan saja. Kemalasan yang mereka derita ini bisa jadi akibat bahwa umumnya mereka terganggu oleh anggapan masa depan yang kabur, tetapi suka masa bodoh, dan banyaknya pengangguran terdidik di seputar mereka. Kecuali kalau mereka suka menganalisa bahwa pengangguran terdidik yang menganggur itu adalah akibat kualitas diri masih rendah, selain suratan dari Ilahi, karena ilmu mereka baru hanya sebatas “text-book thinking” semata. Pendidikan memang penting bagi seseorang karena ia memberinya kesempatan untuk meningkatkan “income” dan tingkat kehidupan seperti fasilitas kesehatan, pendidikan dan lain-lain. Untuk pendidikan lewat penguasaan pengetahuan dan skill dapat membuat kemungkinan peningkatan “output”. Untuk itu penting bagi seseorang untuk memiliki kebutuhan akan pendidikan dan sekolah. Kehilangan daya tarik terhadap sekolah dan pendidikan, selain disebabkan oleh berbagai faktor yang telah kita sebutkan di atas, juga disebabkan faktor orang tua. Murid-murid dengan perilaku negatif banyak datang dari keluarga dengan orang tua yang sibuk dan tidak mampu memberi perhatian. Dan kalau pun orang tua tidak sibuk, tetapi akibat mereka kelewatan dalam memberi perhatian dan pemanjaan, tanpa membantu anak dalam belajar dan mengelola waktu, telah membuat anak-anak mereka berkualitas jelek. Kenapa daya tarik sekolah merosot bisa terjadi? Terhadap pertanyaan ini dapat kita dengar jutaan alasan dan keluhan. Dari sudut pandang murid, mereka punya alasan untuk mengeluh karena kondisi hidup dan sekolah yang tak memadai. Alasan atau keluhan ini adalah seperti: jarangnya mereka memiliki buku, fasilitas pustaka dan labor yang terbatas, tempat tinggal yang tidak memadai dan akibat sedikitnya kontak dengan guru dan guru bimbingan dan konseling. Keluhan dari segi guru adalah seperti: guru yang kurang terlatih, gaji yang kurang memadai sehingga banyak guru yang demam berhutang pada koperasi atau bank, kelas yang ramai, kurikulum yang belum layak, keadaan kelas yang dua shift, buku teks yang tidak menarik dan media mengajar yang sering tidak ada di dalam proses belajar mengajar. Kini mengingat dan melihat tantangan hidup yang makin nyata agaknya kita mesti lebih serius dalam memperhatikan investasi manusia dalam arti peningkatan sumber daya manusia. Untuk itu sangat diperlukannya pendidikan yang berkualitas. Pendidikan yang berkualitas ditentukan oleh guru yang cakap dan mahir. Sekolah tetap membutuhkan guru yang luas ilmunya, dapat beradaptasi, kompeten dan berbakti pada tugas. Di samping itu juga perlu sokongan orang tua. Malah tentu yang omong kosong bila sekolah berkualitas dan orang tua, dan juga masyarakat yang berkualitas menghasilkan murid serta mahasiswa yang berkualitas pula. Marjohan, Guru SMA Negeri 3 (Program Layanan Keunggulan) Batusangkar. Sumatra Barat. (rekening: Batusangkar, Kota II 33-22-3872) |
Sabtu, 17 November 2007
KEMEROSOTAN DAYA TARIK SEKOLAH
Jumat, 16 November 2007
Pustaka Sekolah Merupakan Gudang buku rongsokan
Pustaka Sekolah Merupakan Gudang buku rongsokan
Oleh Marjohan
Guru SMA Neg 3 Batusangkar
marjohanusman@yahoo.com
RATA-RATA pustaka sekolah dikelola secara serampangan karena disebabkan banyak faktor. Dalam suasana sekolah dua shift dengan jam istirahat sangat kasib membuat murid-murid enggan untuk berkunjung ke pustaka. Sebab mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk membolak balik buku dan menilai bacaan-bacaan yang lain. Murid-murid lebih senang untuk menggunakan waktu istirahat yang jumlahnya Cuma beberapa belas menit saja untuk pergi ke kantin atau bersenda gurau untuk sekedar menarik nafas segar di luar pustaka.
Hanya ada segelintir murid saja bila dibandingkan dengan total populasi sekolah. Murid-murid itu pun mengunjungi pustaka karena merasa kebingungan, tidak punya duit lagi untuk pergi ke kantin dan tidak punya teman yang sreg untuk bersenda gurau. Kecuali satu atau dua orang murid saja yang mempunyai niat untuk mengunjingi pustaka.
Tidak hanya murid, guru-guru pun jarang terlihat yang mengunjungi pustaka. Kalau ditanya “mengapa” maka jawaban yang paling-paling kita dengar adalah tidak ada waktu atau tidak ada kesempatan. Dan ini adalah sebuah jawaban tradisionil.
Salah satu dari penyebab hilangnya gairah guru dan murid mengunjungi pustaka karena pustaka yang berfungsi tempat koleksi buku-buku ternyata miskin dengan koleksi buku kecuali yang dapat ditemukan di perpustakaan adalah tumpukan buku-buku teks pelajaran dan buku-buku terbitan Pusat Pembukuan Depdikbud dan PN. Balai Pustaka. Seolah-olah perpustakaan sekolah bukanlah tempat gudang ilmu tetapi tepatnya perpustakaan sekolah adalah tong sampah bagi pembuangan buku-buku teks terbitan PN Balai Pustaka dan buku-buku keluaran Pusat Perbukuan Depdikbud.
Kedengarannya amat sinis. Tapi ini adalah kalimat yang dilontarkan oleh seorang petugas pustaka yang merasa putus asa atau frustasi melihat perkembangan pustaka yang tidak pernah menggairahkan. Paling kurang menurut visi petugas pustaka tadi.
Sebetulnya ini adalah suatu kenyataan. Kalau kita mengunjungi beberapa pustaka sekolah, kecuali kalau petugas pustaka menumpuknya dalam gudang, kita akan menemukan deretan buku-buku teks yang diterbitkan pemerintah masih utuh. Dan rata-rata buku-buku itu berdebu dan hampir tidak terawat. Malah ada inisiatif dari petugas pustaka yang suka iseng untuk menjualnya secara kiloan untuk kertas pembungkus teri di tengah pasar. “Sungguh sayang bukan,” katanya, dari pada buku-buku itu ditumpuk atau dibakar maka lebih baik dijual dan uangnya dapat dimanfaatkan untuk pembeli sabun cuci. Sungguh ini merupakan suatu pelecehan atas buku dan ilmu. Apalagi mengingat biaya yang dikeluarkan pemerintah, Depdikbud, tentu berkisar sampai puluhan miliar rupiah dan berakhir dalam bentuk pemborosan dana negara yang amat sia-sia.
Mengapa hal seperti ini bisa terjadi, apakah buku-buku ini diluncurkan tanpa rencana?
Untuk mendapat jawabannya tentu kita dapat menemui berbagai pihak, terutama guru-guru dan petugas pustaka sebagai orang lapangan yang langsung berkecimpung menghadapi buku-buku teks tersebut.
Tampaknya buku-buku keluaran Depdikbud dibuat asal jadi saja, komentar seorang guru Bahasa Indonesia. Bahasa yang digunakan oleh buku-buku paket (buku teks) agak kaku dan penampilannya sangat formal dan tidak sesuai dengan selera murid yang berusia remaja. Untuk buku Bahasa Indonesia, misalnya, tidaklah tepat kalau disusun oleh ahli bahasa saja tetapi juga diikutsertakan unsur dari sastrawan agar bahasa buku ini enak dicerna dan menarik untuk dibaca.
Tampaknya buku-buku keluaran Depdikbud bersifat “teacher-centered”. Maksudnya buku-buku itu musti ditelaah dulu oleh guru dan baru disampaikan uraiannya pada murid. Sering kita dengar murid merasa susah untuk memahami isi buku dan jenuh dengan gaya bahasanya. Melihat sistem belajar orang kita yang cenderung menghafal dan buku mentelaah isi buku maka guru suka memanjakan murid dengan cara meringkaskan isi buku untuk dapat dihafalkan bila ada ujian. Akibatnya jadilah murid-murid ibarat sapi suci agama Hindu di India yang mengunyah-ngunyah kertas berisi tulisan, menelannya dan mengeluarkan dalam bentuk kotoran tanpa pernah singgah di dalam kepala. Begitu pula bagi guru karena tidak menguasai materi pelajaran, membuat keringkasan dan menghafalnya. Akibatnya jadilah guru itu dengan ilmu tua semalam dari murid.
Kebiasaan guru yang suka meringkas isi buku dan mencatatkan kepada murid, secara dikte agar dapat mengefektifkan jam tatap muka atau menyuruh seorang murid mencatatkan di papan tulis sampai tangannya pegal-pegal, membuat buku-buku paket keluaran Depdikbud tetap utuh di perpustakaan. Disamping itu yang membuat buku-buku paket tetap menumpuk di Pustaka adalah rasa acuh tak acuh guru terhadap keberadaan pustaka. Sehingga guru tersebut tidak tahu kalau-kalau buku pendamping buku paket lain, untuk memperkaya wawasan murid, telah datang ke pustaka. Malah kalaupun tahu ada buku baru, banyak guru tidak memperdulikan karena tidak suka bersusah-susah payah. Sehingga kita lihat buku-buku penunjang lain semakin berdebu saja di pustaka.
Hal ini yang membuat guru enggan menggunakan buku paket, dengan akibat menyuruh murid-murid untuk membeli buku-buku pasaran, akibat materi buku paket Depdikbud tidak persis sama dengan isi GBPP sesuai dengan persepsi guru masing-masing atau materi pelajarannya melompat-lompat. Misal, pelajaran yang seharusnya untuk kelas tiga tetapi terdapat pada buku kelas dua.
Masih ada alasan pribadi lain yang membuat buku paket keluaran Depdikbud dan PN. Balai Pustaka terabaikan. Sehingga tetap menumpuk-numpuk di perpustakaan.
Sanggar-sanggar belajar seperti MGMP, LKG, SPKG dan lain-lain adalah ajang mendiskusikan, mana buku-buku yang bermutu, diantara guru-guru peserta sanggar. Maka sering penilaian mereka jatuh kepada buku pasaran sebagai buku, yang berkwalitas karena mudah untuk dicerna sehingga buku paket pemerintah semakin menempati urutan belakang. Barangkali buku-buku pasaran itu laris karena tujuannya komersil maka ia dirancang secara profesional. Apakah dari segi perwajahan buku, ilustrasi, gaya bahasa dan sampai kepada ukuran buku yang menyerupai buku populer karena desainnya menarik. Disamping itu karena dalam sistem kenaikan pangkat sekarang yang memberi penilaian kepada guru yang kreatif membuat buku atau LKS. Maka guru inti yang kreatif dan yang memiliki orientasi kepangkatan dan orientasi ekonomi segera merancang buku apakah dengan cara mengedit, yakni dengan caplok sana caplok sini. Maka jadilah sebuah buku atau LKS yang menarik setelah keluar dari percetakan lokal. Kemudian mereka, guru-guru inti, mempengaruhi guru-guru inti, mempengaruhi guru-guru pengikut sanggar agar sekolah mereka menggunakan buku atau LKS yang ditulis oleh guru-guru inti. Inipun membuat buku paket semakin terpojok kedudukannya.
Alasan kekurangan atau kesulitan ekonomi juga membuat guru-guru bidang studi berbisnis buku dengan cara mengambil buku kepada agen pemasaran buku untuk dijual kepada murid-murid dengan janji bahwa kalau terjual maka keuntungan 20 sampai 30 persen adalah untuk guru bidang studi yang telah berjasa tadi. Suatu keuntungan yang lumayan yang membuat guru dapat tersenyum manis. Tetapi ini dapat menelantarkan buku-buku paket sebagai buku utama.
Pada umumnya buku-buku paket yang menumpuk di perpustakaan sekolah adalah buku-buku paket dalam kurikulum lama. Tetapi sebagian besar, ketika kurikulum lama masih berlaku, buku-buku paket itu telah ada juga yang menumpuk-numpuk dan berdebu di perpustakaan.
Sekarang bagaimana dengan keadaan atau nasib buku-buku paket yang ditulis seusai dengan kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum baru, ., ini?
Dari buku-buku paket terbitan PN. Balai Pustaka atau yang diluncurkan oleh Pusat Perbukuan Depdikbud kita telah melihat kemajuan-kemajuan yang sangat berarti. Pada umumnya buku-buku sudah dirancang dengan perwajahan yang cukup menarik dan penjilidan yang cukup kokoh sehingga tidak memungkinkan lagi lembaran halaman buku-buku mudah lepas dan bertebaran. Tetapi dari awal-awal tahun berlakunya kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum baru telah terlihat pula gejala bahwa buku-buku ini mengalami nasib serupa dengan buku-buku paket kurikulum lama yakni ditumpuk-tumpuk dalam perpustakaan. Pada hal buku-buku ini dengan modal puluhan miliar rupiah sengaja dirancang untuk membantu orang tua murid dan sekaligus menyukseskan program pengajaran yang telah dirancangkan oleh pemerintah kita. Tetapi sekarang dimana letak salah dan letak penyebabnya.
Karena tujuannya betul-betul komersil maka penerbitan swasta dalam naungan IKAPI, dan sebagian buku-buku yang dipasarkan ada yang telah disahkan oleh Dirjen Dikdasmen, melihat bahwa sekolah-sekolah adalah pasar yang potensial untuk mencari keuntungan. Maka mereka mempelajari kelemahan buku yang diluncurkan pemerintah dan juga mempelajari selera guru dan murid sebagai konsumen mereka.
Seorang penyalur buku pelajaran dari penerbit swasta mengatakan bahwa yang membuat buku-buku keluaran penerbit mereka laris seperti kacang goreng adalah karena adanya kesan “pandangan pertama” terhadap buku-buku yang mereka pasarkan dan kesan ini tidak dimiliki oleh buku paket yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kesan buku terbitan non pemerintah yaitu bentuknya pop, mungkin bahasanya adalah bahasa populer dan ukuran disajikan seperti majalah remaja, dan ukuran buku itu cukup tipis sehingga mendatangkan kesan enteng untuk dibaca dan dicerna. Kemudian ditambah dengan unsur pelayanan dari agen pemasaran yang menyebar dan mengunjungi setiap sekolah. Disana mereka mempengaruhi guru-guru bidang studi dan menunjukkan keunggulan buku-buku mereka sehingga membuat guru betul-betul merasakan adanya kemudahan-kemudahan terhadap buku pasaran itu. Misalnya buku pasaran menyajikan uraian, rata-rata dengan cara mengunyah-ngunyahkan materi dan menyuapkannya ke dalam mulut murid, terasa mudah untuk dicerna oleh guru dan murid. Malah tanpa adanya kehadiran guru, murid sendiripun juga dapat melakukan instruksi pelajaran dalam buku pasaran. Betul-betul pendekatannya bersifat “student-centered”. Sedangkan buku terbitan pemerintah memuat uraian yang bersifat umum sehingga murid musti mengerutkan dahi agar dapat memahaminya seorang guru harus meringkaskan isi buku terlebih dahulu. Terasa oleh kita penyajian buku pasaran juga bersifat memanjakan murid atau memanjakan pendidikan yang bersifat menghafal. Sedangkan buku terbitan Balai Pustaka dan Depdikbud lebih mendorong guru dan murid untuk menelaah isi buku dan mengembangkan sikap “menganalisa” dan bukan sikap menghafal.
Kita rasa karena penyebaran buku pelajaran pasaran dikemas secara potensial dengan tujuan komersil yaitu dengan mengirim agen-agen pemasaran sampai menemui setiap guru bidang studi telah dapat mempengaruhi mereka dan membuat mereka berpaling dari buku terbitan Depdikbud. Pada sebuah SMA yang didatangi oleh agen penyaluran buku kita akan dapat melihat transaksi antar guru dan agen untuk mengambil pesanan buku untuk dapat disebarkan pada beberapa kelas dengan jumlah total murid diatas seratus orang dengan janji kelak 20 atau 30 persen keuntungan adalah untuk ibu atau bapak guru. Sementara dihadapkan guru itu sendiri tergeletak onggokan buku paket kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum baru yang diterbitkan oleh pemerintah tetapi sebentar lagi bakal masuk atau digusur kembali ke dalam pustaka sebagai tong sampah tempat pembuangan. Ketika ditanya “kenapa buku pasaran atau LKS ini yang dipakai dan buku paket Depdikbud dikembalikan ke Pustaka”. Jawabannya adalah karena LKS atau buku itu lebih tipis dan lebih praktis untuk dipakai dalam proses belajar mengajar di kelas. Tampaknya guru-guru kita ingin mengajar asal enteng saja.
Dapat kita lacak bahwa yang membuat buku paket keluaran Depdikbud terabaikan dan buku pelajaran yang diproduksi oleh swasta begitu laris karena adanya perbedaan dalam pelayanan. Dimana buku swasta langsung datang dipasarkan ke sekolah-sekolah dan melayani guru-guru. Disamping itu ada kalanya karena faktor keterlambatan datang buku-buku paket pemerintah. Dimana tahun pelajaran telah berjalan sekian minggu, dan malah sampai satu bulan, maka buku paket baru datang. Tentu saja kekosongan buku diisi oleh buku swasta meski dengan cara menguras kantong orang tua murid yang rata-rata banyak yang kurang mampu. Dimana mereka harus mengeluarkan uang yang banyak untuk setiap bidang studi di sekolah dan untuk sekian orang anak-anak merasa yang menjadi tanggung jawab mereka.
Kita merasa khawatir kalau-kalau buku paket kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum baru . ini mengalami nasib yang sama dengan buku paket Depdikbud dalam kurikulum lama. Maka agar buku paket ini tidak ditumpuk di perpustakaan, sebagai ton sampah, tempat pembuangan buku-buku paket atau buku-buku teks terbitan PN Balai Pustaka dan terbitan Pusat Perbukuan Depdikbud untuk itu kita mohon kepada pihak-pihak yang terkait untuk melakukan antisipasi dalam rangka kita dapat memanfaatkan buku-buku yang telah diciptakan dengan dana besar demi kemajuan bangsa kita ini juga.
Oleh Marjohan
Guru SMA Neg 3 Batusangkar
marjohanusman@yahoo.com
RATA-RATA pustaka sekolah dikelola secara serampangan karena disebabkan banyak faktor. Dalam suasana sekolah dua shift dengan jam istirahat sangat kasib membuat murid-murid enggan untuk berkunjung ke pustaka. Sebab mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk membolak balik buku dan menilai bacaan-bacaan yang lain. Murid-murid lebih senang untuk menggunakan waktu istirahat yang jumlahnya Cuma beberapa belas menit saja untuk pergi ke kantin atau bersenda gurau untuk sekedar menarik nafas segar di luar pustaka.
Hanya ada segelintir murid saja bila dibandingkan dengan total populasi sekolah. Murid-murid itu pun mengunjungi pustaka karena merasa kebingungan, tidak punya duit lagi untuk pergi ke kantin dan tidak punya teman yang sreg untuk bersenda gurau. Kecuali satu atau dua orang murid saja yang mempunyai niat untuk mengunjingi pustaka.
Tidak hanya murid, guru-guru pun jarang terlihat yang mengunjungi pustaka. Kalau ditanya “mengapa” maka jawaban yang paling-paling kita dengar adalah tidak ada waktu atau tidak ada kesempatan. Dan ini adalah sebuah jawaban tradisionil.
Salah satu dari penyebab hilangnya gairah guru dan murid mengunjungi pustaka karena pustaka yang berfungsi tempat koleksi buku-buku ternyata miskin dengan koleksi buku kecuali yang dapat ditemukan di perpustakaan adalah tumpukan buku-buku teks pelajaran dan buku-buku terbitan Pusat Pembukuan Depdikbud dan PN. Balai Pustaka. Seolah-olah perpustakaan sekolah bukanlah tempat gudang ilmu tetapi tepatnya perpustakaan sekolah adalah tong sampah bagi pembuangan buku-buku teks terbitan PN Balai Pustaka dan buku-buku keluaran Pusat Perbukuan Depdikbud.
Kedengarannya amat sinis. Tapi ini adalah kalimat yang dilontarkan oleh seorang petugas pustaka yang merasa putus asa atau frustasi melihat perkembangan pustaka yang tidak pernah menggairahkan. Paling kurang menurut visi petugas pustaka tadi.
Sebetulnya ini adalah suatu kenyataan. Kalau kita mengunjungi beberapa pustaka sekolah, kecuali kalau petugas pustaka menumpuknya dalam gudang, kita akan menemukan deretan buku-buku teks yang diterbitkan pemerintah masih utuh. Dan rata-rata buku-buku itu berdebu dan hampir tidak terawat. Malah ada inisiatif dari petugas pustaka yang suka iseng untuk menjualnya secara kiloan untuk kertas pembungkus teri di tengah pasar. “Sungguh sayang bukan,” katanya, dari pada buku-buku itu ditumpuk atau dibakar maka lebih baik dijual dan uangnya dapat dimanfaatkan untuk pembeli sabun cuci. Sungguh ini merupakan suatu pelecehan atas buku dan ilmu. Apalagi mengingat biaya yang dikeluarkan pemerintah, Depdikbud, tentu berkisar sampai puluhan miliar rupiah dan berakhir dalam bentuk pemborosan dana negara yang amat sia-sia.
Mengapa hal seperti ini bisa terjadi, apakah buku-buku ini diluncurkan tanpa rencana?
Untuk mendapat jawabannya tentu kita dapat menemui berbagai pihak, terutama guru-guru dan petugas pustaka sebagai orang lapangan yang langsung berkecimpung menghadapi buku-buku teks tersebut.
Tampaknya buku-buku keluaran Depdikbud dibuat asal jadi saja, komentar seorang guru Bahasa Indonesia. Bahasa yang digunakan oleh buku-buku paket (buku teks) agak kaku dan penampilannya sangat formal dan tidak sesuai dengan selera murid yang berusia remaja. Untuk buku Bahasa Indonesia, misalnya, tidaklah tepat kalau disusun oleh ahli bahasa saja tetapi juga diikutsertakan unsur dari sastrawan agar bahasa buku ini enak dicerna dan menarik untuk dibaca.
Tampaknya buku-buku keluaran Depdikbud bersifat “teacher-centered”. Maksudnya buku-buku itu musti ditelaah dulu oleh guru dan baru disampaikan uraiannya pada murid. Sering kita dengar murid merasa susah untuk memahami isi buku dan jenuh dengan gaya bahasanya. Melihat sistem belajar orang kita yang cenderung menghafal dan buku mentelaah isi buku maka guru suka memanjakan murid dengan cara meringkaskan isi buku untuk dapat dihafalkan bila ada ujian. Akibatnya jadilah murid-murid ibarat sapi suci agama Hindu di India yang mengunyah-ngunyah kertas berisi tulisan, menelannya dan mengeluarkan dalam bentuk kotoran tanpa pernah singgah di dalam kepala. Begitu pula bagi guru karena tidak menguasai materi pelajaran, membuat keringkasan dan menghafalnya. Akibatnya jadilah guru itu dengan ilmu tua semalam dari murid.
Kebiasaan guru yang suka meringkas isi buku dan mencatatkan kepada murid, secara dikte agar dapat mengefektifkan jam tatap muka atau menyuruh seorang murid mencatatkan di papan tulis sampai tangannya pegal-pegal, membuat buku-buku paket keluaran Depdikbud tetap utuh di perpustakaan. Disamping itu yang membuat buku-buku paket tetap menumpuk di Pustaka adalah rasa acuh tak acuh guru terhadap keberadaan pustaka. Sehingga guru tersebut tidak tahu kalau-kalau buku pendamping buku paket lain, untuk memperkaya wawasan murid, telah datang ke pustaka. Malah kalaupun tahu ada buku baru, banyak guru tidak memperdulikan karena tidak suka bersusah-susah payah. Sehingga kita lihat buku-buku penunjang lain semakin berdebu saja di pustaka.
Hal ini yang membuat guru enggan menggunakan buku paket, dengan akibat menyuruh murid-murid untuk membeli buku-buku pasaran, akibat materi buku paket Depdikbud tidak persis sama dengan isi GBPP sesuai dengan persepsi guru masing-masing atau materi pelajarannya melompat-lompat. Misal, pelajaran yang seharusnya untuk kelas tiga tetapi terdapat pada buku kelas dua.
Masih ada alasan pribadi lain yang membuat buku paket keluaran Depdikbud dan PN. Balai Pustaka terabaikan. Sehingga tetap menumpuk-numpuk di perpustakaan.
Sanggar-sanggar belajar seperti MGMP, LKG, SPKG dan lain-lain adalah ajang mendiskusikan, mana buku-buku yang bermutu, diantara guru-guru peserta sanggar. Maka sering penilaian mereka jatuh kepada buku pasaran sebagai buku, yang berkwalitas karena mudah untuk dicerna sehingga buku paket pemerintah semakin menempati urutan belakang. Barangkali buku-buku pasaran itu laris karena tujuannya komersil maka ia dirancang secara profesional. Apakah dari segi perwajahan buku, ilustrasi, gaya bahasa dan sampai kepada ukuran buku yang menyerupai buku populer karena desainnya menarik. Disamping itu karena dalam sistem kenaikan pangkat sekarang yang memberi penilaian kepada guru yang kreatif membuat buku atau LKS. Maka guru inti yang kreatif dan yang memiliki orientasi kepangkatan dan orientasi ekonomi segera merancang buku apakah dengan cara mengedit, yakni dengan caplok sana caplok sini. Maka jadilah sebuah buku atau LKS yang menarik setelah keluar dari percetakan lokal. Kemudian mereka, guru-guru inti, mempengaruhi guru-guru inti, mempengaruhi guru-guru pengikut sanggar agar sekolah mereka menggunakan buku atau LKS yang ditulis oleh guru-guru inti. Inipun membuat buku paket semakin terpojok kedudukannya.
Alasan kekurangan atau kesulitan ekonomi juga membuat guru-guru bidang studi berbisnis buku dengan cara mengambil buku kepada agen pemasaran buku untuk dijual kepada murid-murid dengan janji bahwa kalau terjual maka keuntungan 20 sampai 30 persen adalah untuk guru bidang studi yang telah berjasa tadi. Suatu keuntungan yang lumayan yang membuat guru dapat tersenyum manis. Tetapi ini dapat menelantarkan buku-buku paket sebagai buku utama.
Pada umumnya buku-buku paket yang menumpuk di perpustakaan sekolah adalah buku-buku paket dalam kurikulum lama. Tetapi sebagian besar, ketika kurikulum lama masih berlaku, buku-buku paket itu telah ada juga yang menumpuk-numpuk dan berdebu di perpustakaan.
Sekarang bagaimana dengan keadaan atau nasib buku-buku paket yang ditulis seusai dengan kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum baru, ., ini?
Dari buku-buku paket terbitan PN. Balai Pustaka atau yang diluncurkan oleh Pusat Perbukuan Depdikbud kita telah melihat kemajuan-kemajuan yang sangat berarti. Pada umumnya buku-buku sudah dirancang dengan perwajahan yang cukup menarik dan penjilidan yang cukup kokoh sehingga tidak memungkinkan lagi lembaran halaman buku-buku mudah lepas dan bertebaran. Tetapi dari awal-awal tahun berlakunya kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum baru telah terlihat pula gejala bahwa buku-buku ini mengalami nasib serupa dengan buku-buku paket kurikulum lama yakni ditumpuk-tumpuk dalam perpustakaan. Pada hal buku-buku ini dengan modal puluhan miliar rupiah sengaja dirancang untuk membantu orang tua murid dan sekaligus menyukseskan program pengajaran yang telah dirancangkan oleh pemerintah kita. Tetapi sekarang dimana letak salah dan letak penyebabnya.
Karena tujuannya betul-betul komersil maka penerbitan swasta dalam naungan IKAPI, dan sebagian buku-buku yang dipasarkan ada yang telah disahkan oleh Dirjen Dikdasmen, melihat bahwa sekolah-sekolah adalah pasar yang potensial untuk mencari keuntungan. Maka mereka mempelajari kelemahan buku yang diluncurkan pemerintah dan juga mempelajari selera guru dan murid sebagai konsumen mereka.
Seorang penyalur buku pelajaran dari penerbit swasta mengatakan bahwa yang membuat buku-buku keluaran penerbit mereka laris seperti kacang goreng adalah karena adanya kesan “pandangan pertama” terhadap buku-buku yang mereka pasarkan dan kesan ini tidak dimiliki oleh buku paket yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kesan buku terbitan non pemerintah yaitu bentuknya pop, mungkin bahasanya adalah bahasa populer dan ukuran disajikan seperti majalah remaja, dan ukuran buku itu cukup tipis sehingga mendatangkan kesan enteng untuk dibaca dan dicerna. Kemudian ditambah dengan unsur pelayanan dari agen pemasaran yang menyebar dan mengunjungi setiap sekolah. Disana mereka mempengaruhi guru-guru bidang studi dan menunjukkan keunggulan buku-buku mereka sehingga membuat guru betul-betul merasakan adanya kemudahan-kemudahan terhadap buku pasaran itu. Misalnya buku pasaran menyajikan uraian, rata-rata dengan cara mengunyah-ngunyahkan materi dan menyuapkannya ke dalam mulut murid, terasa mudah untuk dicerna oleh guru dan murid. Malah tanpa adanya kehadiran guru, murid sendiripun juga dapat melakukan instruksi pelajaran dalam buku pasaran. Betul-betul pendekatannya bersifat “student-centered”. Sedangkan buku terbitan pemerintah memuat uraian yang bersifat umum sehingga murid musti mengerutkan dahi agar dapat memahaminya seorang guru harus meringkaskan isi buku terlebih dahulu. Terasa oleh kita penyajian buku pasaran juga bersifat memanjakan murid atau memanjakan pendidikan yang bersifat menghafal. Sedangkan buku terbitan Balai Pustaka dan Depdikbud lebih mendorong guru dan murid untuk menelaah isi buku dan mengembangkan sikap “menganalisa” dan bukan sikap menghafal.
Kita rasa karena penyebaran buku pelajaran pasaran dikemas secara potensial dengan tujuan komersil yaitu dengan mengirim agen-agen pemasaran sampai menemui setiap guru bidang studi telah dapat mempengaruhi mereka dan membuat mereka berpaling dari buku terbitan Depdikbud. Pada sebuah SMA yang didatangi oleh agen penyaluran buku kita akan dapat melihat transaksi antar guru dan agen untuk mengambil pesanan buku untuk dapat disebarkan pada beberapa kelas dengan jumlah total murid diatas seratus orang dengan janji kelak 20 atau 30 persen keuntungan adalah untuk ibu atau bapak guru. Sementara dihadapkan guru itu sendiri tergeletak onggokan buku paket kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum baru yang diterbitkan oleh pemerintah tetapi sebentar lagi bakal masuk atau digusur kembali ke dalam pustaka sebagai tong sampah tempat pembuangan. Ketika ditanya “kenapa buku pasaran atau LKS ini yang dipakai dan buku paket Depdikbud dikembalikan ke Pustaka”. Jawabannya adalah karena LKS atau buku itu lebih tipis dan lebih praktis untuk dipakai dalam proses belajar mengajar di kelas. Tampaknya guru-guru kita ingin mengajar asal enteng saja.
Dapat kita lacak bahwa yang membuat buku paket keluaran Depdikbud terabaikan dan buku pelajaran yang diproduksi oleh swasta begitu laris karena adanya perbedaan dalam pelayanan. Dimana buku swasta langsung datang dipasarkan ke sekolah-sekolah dan melayani guru-guru. Disamping itu ada kalanya karena faktor keterlambatan datang buku-buku paket pemerintah. Dimana tahun pelajaran telah berjalan sekian minggu, dan malah sampai satu bulan, maka buku paket baru datang. Tentu saja kekosongan buku diisi oleh buku swasta meski dengan cara menguras kantong orang tua murid yang rata-rata banyak yang kurang mampu. Dimana mereka harus mengeluarkan uang yang banyak untuk setiap bidang studi di sekolah dan untuk sekian orang anak-anak merasa yang menjadi tanggung jawab mereka.
Kita merasa khawatir kalau-kalau buku paket kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum baru . ini mengalami nasib yang sama dengan buku paket Depdikbud dalam kurikulum lama. Maka agar buku paket ini tidak ditumpuk di perpustakaan, sebagai ton sampah, tempat pembuangan buku-buku paket atau buku-buku teks terbitan PN Balai Pustaka dan terbitan Pusat Perbukuan Depdikbud untuk itu kita mohon kepada pihak-pihak yang terkait untuk melakukan antisipasi dalam rangka kita dapat memanfaatkan buku-buku yang telah diciptakan dengan dana besar demi kemajuan bangsa kita ini juga.
Langganan:
Postingan (Atom)